Sabtu, 08 Oktober 2011

Muhammad Saleh Werdisastro, Penulis Buku Babad Sumenep

Berkat sumbangsihnya di dunia pendidikan, militer dan pemerintahan, nama, gambar dan foto dirinya diabadikan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dalam satu ruang tersendiri di Museum Monumen Yogya. Aktivis Muhammadiyah ini pernah mendirikan sekolah, berjuang bergerilya bersama Jenderal Soedirman, menjadi salah seorang pendiri Universitas Gajah Mada, walikota dan residen berpangkat gubernur. Bahkan namanya dijadikan nama jalan yang terletak di daerah Banjarsari Kota Surakarta.

Muhammad Saleh Werdisastro adalah pria Madura kelahiran Sumenep 14 Mei 1908, putra dari cedekiawan R. Musaid penyusun Buku Babad Sumenep. Sang ayah kemudian dianugerahi sejumlah uang (gulden) dan gelar Werdisastro (werdi = memberi arti, sastro = sastra) oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Muhammad Saleh Werdisastro
Naskah Babad Sumenep diterbitkan menjadi buku oleh Balai Pustaka pada tanggal 15 Pebruari 1914 (buku tersebut masih menggunakan bahasa Madura huruf Jawa). Sejak mengeluarkan buku yang banyak menggunakan simbol dan kiasan untuk mengobarkan semangat anti-penjajahan atau anti-kompeni, R. Musaid terkenal dengan nama R. Werdisastro. Untunglah Belanda tidak menangkap makna sebenarnya dari buku itu, malah memberikannya penghargaan.

Untuk memasyarakatkan Babad Sumenep, sang ayah berencana hendak menyusun ulang buku itu dengan menguraikan kiasan atau simbolnya menjadi arti sebenarnya sejalan dengan sejarah. Namun manusia boleh berencana, Allah jua yang menentukan. Sampai wafatnya pada tahun 1955, rencana sang ayah tidak terlaksana.

Semasa hidupnya, sang ayah tertarik dengan ajaran Muhammadiyah dan mendirikan Muhammadiyah cabang Sumenep karena kedekatannya dengan Ketua Umum Muhammadiyah, Kyai Haji Mas Mansur yang kemudian memberikan bantuan tenaga pengajar kepada Muhammadiyah cabang Sumenep.
Memajukan Pendidikan

Muhammad Saleh Werdisastro menamatkan sekolahnya tanggal 15 Mei 1930 di Hogere Kweekschool (HKS) yang dijalani di Purworejo 1 tahun dan di Magelang 2 tahun. Saat itu ia merupakan aktivis Muhammadiyah dan Boedi Oetomo. Setelah tamat HKS, ia diangkat menjadi guru Gouvernements Hollands Inlandse School (HIS) di Rembang mulai 1 Juni 1930.

Merasa cukup bekerja kepada pemerintah Hindia Belanda selama 1 tahun, dia pun minta berhenti. Tanggal 30 Juli 1931, Muhammad Saleh Werdisastro resmi diberhentikan dengan hormat dan kembali ke Sumenep sesuai cita-citanya untuk memajukan pendidikan di daerah kelahirannya.

Pada 1931, di Sumenep hanya ada 1 sekolah Hollands Inlandse School (HIS) yang hanya boleh dimasuki anak-anak Belanda, ningrat atau priyayi serta anak-anak orang kaya. Melihat hal itu Muhammad Saleh Werdisastro tergerak hatinya untuk mendirikan sekolah semacam HIS yang dapat dimasuki anak-anak dari lapisan atas sampai lapisan bawah, dari yang kaya sampai yang paling miskin sekalipun, dengan menggunakan biaya sendiri.

Berbagai persiapan mulai dari pembelian sebidang tanah di Karembangan berserta dengan bangunan sekolahnya, sampai dengan menyiapkan guru-guru yang diperkirakan setara dengan guru-guru HIS. Guru-guru tersebut antara lain dikenal dengan nama Meneer Ahmad, Meneer Badroel, Meneer Perwira dan lain-lain.

Setelah beberapa bulan persiapan, maka pada tanggal 31 Agustus 1931 diresmikan sekolah dengan nama Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep dengan kepala sekolahnya Meneer Muhammad Saleh Werdisastro.

Sejak itu masyarakat Sumenep yang terdiri dari anak-anak orang kebanyakan, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin dari semua lapisan masyarakat dapat diterima menjadi murid di sekolah tersebut.
Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep yang berdiri taangal 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan di luar dugaan. Anak-anak dari berbagai golongan terutama dari golongan miskin dapat bersekolah setingkat dengan sekolah Belanda dimana kelas 3 mulai diberi pelajaran bahasa Belanda, selanjutnya pada kelas 6 dan kelas 7, guru-gurunya memberi pelajaran dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

Rasa kebangsaan ditanamkan pada para murid terekspresikan dengan dilantunkannya lagu-lagu perjuangan setiap hari, terutama lagu Indonesia Raya. Akibatnya dalam suatu inspeksi Residen Madura ke PHIS, Muhammad Saleh Werdisastro mendapat teguran karena murid PHIS tidak dapat menyanyikan lagu Wilhelmus.

Selama berdirinya PHIS, murid-murid laki-laki pada umumnya dapat menamatkan sekolahnya, namun lain halnya dengan murid-murid perempuan. Hampir semua murid perempuan sekolahnya berhenti di tengah jalan karena dikawinkan oleh orang tuanya.

Di sela-sela kesibukannya mengurus Sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, Muhammad Saleh Werdisastro juga menjadi Ketua Hisbul Wathon (HW) Madura yaitu perkumpulan kepanduan atau pramuka yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Dia juga masih bisa menyisihkan waktu untuk memperdalam agama Islam di pondok-pondok pesantren yang tersebar di pulau Madura.

Selama 5 tahun berguru dari kyai yang satu ke kyai yang lainnya, masing-masing kyai menyatakan bahwa Muhammad Saleh Werdisastro telah lulus dari pesantrennya. Rupanya bekal pengetahuan agama Islam tersebut selalu digunakan sebagai referensi dalam langkah-langkah mengarungi kehidupan selanjutnya.
Setelah 11 tahun Muhammad Saleh Wardisastro memimpin sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, dia mulai berfikir tentang kaderisasi pengelolaannya kepada putra-putra Sumenep. Maka pada tanggal 1 September 1941 dia menyerahkan jabatan Kepada Meneer Badroel dan Muhammad Saleh Werdisastro sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk lebih membaktikan dirinya pada Muhammadiyah.

Menjadi Tentara

Sejak itu beliau menjadi guru Gesubsidieerde Inheemse MULO Muhammadiyah Yogyakarta. Kegiatan mengajar di MULO Muhammadiyah itu berlangsung sampai tentara Dai Nippon menduduki Indonesia. Sewaktu calon-calon pemimpin Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dicarikan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah oleh pemerintah Dai Nippon, terpilih Muhammad Saleh Werdisastro bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lainnya seperti Soedirman (kemudian menjadi Panglima Besar TNI), Kyai Muhammad Idris, Kyai Doeryatman, Soetaklaksana, Kasman Singodimejo, Moelyadi Djojomartono, dan lain-lain.

Pada tanggal 31 Agustus 1943, ia mulai menjalani pekerjaan militer sebagai Dai Dancho Dai Dang II Yogyakarta (dai dancho = mayor) bermarkas di Bantul yang tertelak di selatan kota Yogyakarta. Tentu saja sebagai orang Muhammadiyah dia banyak merekrut orang Muhammadiyah untuk masuk PETA.

Pada waktu itu Muhammad Saleh Werdisastro mendapat berita dari Sumenep bahwa gedung sekolah PHIS Soemekar Pangabru diambil alih dan dijadikan markas Tentara Jepang. Dengan rasa kecewa yang mendalam namun tetap tegar, Muhammad Saleh Werdisastro yakin bahwa suatu saat nanti sekolah itu pasti dapat hidup kembali.

Rupanya keyakinannya itu, yang diucapkan pada tahun 1943 akhirnya menjadi kenyataan juga. Anak tertuanya Ir. Muhammad Mansur Werdisastro mempelopori mewujudkan kembali cita-cita ayahnya dengan cara memberikan bantuan berupa tanah berikut bangunan sekolah di Panglegur Sumenep kepada Muhammadiyah sebagai ganti bangunan sekolah SMU Muhammadiyah.

Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Tentara PETA dibubarkan dan bekas perwira-perwiranya tampil ke depan memegang posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Muhammad Saleh Werdisastro tak terkecuali.
Pada tanggal 1 September 1945 beliau diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta yang pertama. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1946 dia juga diangkat sebagai anggota KNI Pusat. KNI daerah dan KNI Pusat ini adalah cikal bakal yang di kemudian hari menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Pada bulan Oktober 1945, tentera Jepang di Yogyakarta belum juga mau menyerahkan senjatanya kepada Pemerintah RI. Dalam suasana genting dengan tentara Jepang, Muhammad Saleh Werdisastro ditunjuk sebagai Ketua Team Perundingan Perlucutan Senjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Tentara Jepang di Yogyakarta. Perundingan ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak sehingga pecah insiden yang terkenal dengan Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta.

Muhammad Saleh Werdisastro yang juga menjadi ketua Laskar Rakyat, Ketua Barisan Banteng dan Ketua Hisbullah juga ikut memimpin barisan yang akhirnya menjadi anggota Dewan Penasehat Tentara Nasional Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri dari kalangan militer, politikus, dan pemimpin agama. Dalam dewan itu ia duduk bersama-sama dengan tokoh agama Islam yang lain seperti Harsono Tjokroaminoto, Didi Kartasasmita. Ia pun ikut bahu membahu dengan pasukan yang lain dalam Pertempuran Ambarawa yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Pada waktu terjadi pemberontakan PKI Madiun yang terkenal dengan Affair Madiun tahun 1948, dia ikut membentuk Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Muhammad Saleh Werdisastro sebagai orang Muhammadiyah menginginkan orang-orang Muhammadiyah ikut berperan dalam tubuh TNI dan Polisi Negara.

Hal itu dilaksanakan dengan menyumbangkan 2 batalyon Barisan Hisbullah ke dalam TNI dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Perjuangannya terus berlanjut sampai terjadi clash ke-2 tahun 1948 dimana Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia waktu itu diserang dan diduduki Belanda yang menyerbu dengan menggunakan Tijger Brigade. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Mr Muhammad Roem serta pemimpin-pemimpin lainnya ditangkap Belanda.

Panglima Besar Soedirman keluar kota Yogyakarta untuk memimpin gerilya melawan Belanda. Demikian pula beberapa menteri Republik Indonesia seperti Dr. Soekirman, Soepeno, J. Kasimo, dan Mr. Soesanto Tirtoprojo. Muhammad Saleh Werdisastro yang waktu itu menjabat Penasehat Mendagri Dr. Soekirman, dengan pangkat Letnan Kolonel TNI, ikut keluar kota, bergerilya di daerah Yogyakarta, kadang-kadang di daerah Surakarta dan Madiun.

Ia juga pernah mengikuti Panglima Besar Soedirman bergerilya dari Trenggalek sampai Pakis di Pegunungan daerah Pacitan. Setelah Yogyakarta kembali ke Republik Indonesia, Muhammad Saleh Werdisastro pada tanggal 15 Oktober 1949 ditunjuk duduk dalam perwakilan Dewan Penasehat Delegasi Republik Indonesia di Joint Committee. Setelah itu, dia tidak melanjutkan karier dalam militer lagi. Dia lebih memilih berkarir dalam bidang pamong praja samabil meneruskan idealismenya sebagai pendidik dan aktivis Muhammadiyah.
Rupanya perjuangan Muhammad Saleh Werdisastro sebagai Perintis Kemerdekaan tahun 1945 mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan mengabadikan nama, gambar, atau foto dirinya serta barang-barang peninggalan waktu menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta yang pertama dalam satu ruang tersendiri di Musium Monumen Yogya Kembali.

Pamong Praja

Karier Muhammad Saleh Werdisastro dalam pamong praja dimulai sebagai Wakil Walikota Yogyakarta pada tanggal 1 Pebruari 1950. Sebagai Wakil Walikota dia aktif di Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta. Di samping itu dia juga ikut sebagai salah seorang pendiri Universitas Gajah Mada.

Mulai tanggal 1 Agustus 1951 sampai dengan tanggal 17 Pebruari 1958 (dipilih untuk 2 periode) Muhammad Saleh Werdisastro menjabat sebagai Walikota Surakarta. Pada masa itu di samping tetap sebagai anggota Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat, juga mulai giat sebagai mubaliq mengadakan dakwah atau ceramah agama Islam di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di bidang pendidikan dia mempelopori berdirinya Universitas Surakarta dan ikut aktif sebagai pengurus IKIP Muhammadiyah Surakarta bersama Drs. Sosrodiningrat dan Prof. Sigit.

Warga Surakarta rupa-rupanya terkesan dengan kepemimpinan Walikota Muhammad Saleh Werdisastro, sehingga untuk mengenang jasa-jasanya warga Surakarta mengabadikan namanya menjadi nama jalan dengan nama jalan Muhammad Saleh Werdisastro, terletak di daerah Banjarsari Kota Surakarta.

Pada tanggal 29 Pebruari 1959, Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi Residen Kedu berkedudukan di Magelang. Untuk mengantisipasi pengaruh komunisme dalam militer, Muhammad Saleh Werdisastro secara tetap memberikan ceramah atau kuliah agama Islam di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Dalam bidang pendidikan dia memelopori berdirinya Universitas Magelang, bahkan sebelum adanya gedung yang memadai, kegiatan Universitas dan kuliah-kuliah dilaksanakan di Aula Keresidenan Kedu.

Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri karirnya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya di perkirakan tidak lebih dari 1 tahun.

Pada tahun 1965 dia sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk menjalani masa pensiun disertai advis dari tim dokter agar banyak beristirahat. Namun, dia tidak mau berhenti berkarya. Ia masih terus melakukan kegiatan di Majelis Tanwir Muhammadiyah, dakwah agama Islam, ceramah, dan mengajar di universitas.

Bahkan dia bersama teman-teman Muhammadiyah mengelola Harian Mercusuar Yogyakarta. Dia memang seorang pejuang yang penuh dengan ide-ide dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pikiran-pikirannya cemerlang dan diusahakannya untuk menjadi kenyataan. Namun kegiatan-kegiatannya yang meningkat rupanya tidak didukung kesehatan badannya yang mulai digerogoti penyakit lamanya.

Muhammad Saleh Werdisastro kembali jatuh sakit dan pada tahun 1966 dia wafat karena penyakit kanker levernya yang semakin parah. Dia sempat beberapa hari dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiayah Yogyakarta. Jenazahnya dimandikan oleh warga Muhammadiyah, dan kerandanya ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah.

Ketika pihak militer meminta jenazah Muhammad Saleh Werdisastro untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta karena almarhum memiliki Bintang Gerilya, pihak Muhammadiyah menolak karena Muhammad Saleh Werdisastro begitu besar jasanya kepada Muhammadiyah sehingga untuk menghormatinya, jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan pendiri Muhammadiyah lainnya, Kyai Haji Achamad Dahlan di pemakaman Karangkajen Yogyakarta.

Warga Muhammadiyah benar-benar kehilangan dan berkabung. Jalan-jalan sekitar kediamannya penuh dengan warga Muhammadiyah berbaur dengan massa yang lain. Ribuan pelayat mengiringi jenazah Muhammad Saleh Werdisastro yang dipikul secara bergantian oleh warga Muhammadiyah sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta kurang lebih 2 km menuju Masjid Besar Alun-alun Utara Yogyakarta untuk disalatkan.

Toko-toko di sepanjang jalan yang dilalui jenazah banyak yang menyediakan minuman di depan tokonya untuk diminum para pelayat. Di antara pelayat yang berjalan kaki terdapat Ketua Umum Muhammadiyah Kyai Haji Achmad Badawi, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal TNI Soerono, Komandan Korem Yogyakarta Kolonel TNI Leo Ngali serta pejabat-pejabat lainnya dari Yogyakarta, Surakarta, Magelang, dan Semarang. Semua kendaraan menepi memberi jalan bagi jenazah beserta ribuan pelayat.

Setelah dishalatkan, jenazah dipikul lagi sekitar 2 km menuju Pemakaman Karangkajen. Ribuan pelayat dengan dipandu warga Muhammadiyah membaca doa membesarkan nama Allah sepanjang jalan, di pemakaman Karangkajen, ribuan pelayat mengaminkan doa Sang Iman, memohonkan ampun kepada Allah SWT serta memberikan penghormatan terakhir kepada seorang hamba Allah bernama Muhammad Saleh Werdisastro yang selama hidupnya mengabdikan dirinya kepada negara, bangsa, dan agama Islam khususnya Muhammadiyah.

Menikahi Perempuan yang Rela Berkorban

Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama R. Ayu Masturah, putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama R. Setjodipoero. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka dua mendapat bimbingan dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.

Ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan ibu-ibu yang tergabung dalam Aisyah. Dia dapat menjadi contoh ibu teladan yang dengan setia dan penuh pengorbanan mendampingi suaminya dalam perjuangan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dengan 5 anak yang masih belum dewasa, dia rela ditinggal suami di Yogyakarta, karena sang suami harus berjuang, bertempur sampai bergerilya melawan penjajah Belanda dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Sebagai isteri seorang pejuang kemerdekaan, R. Ayu Masturah sering mendapat teror dan diancam akan dibunuh sekeluarga. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan bersama teman-teman Muhammadiyah, dia beserta keempat anaknya mengungsi ke kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas penduduknya warga Muhammadiyah dan pejuang-pejuang kemerdekaan.

Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Di bidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu, ia menyekolahkan anak-anaknya di tingkat pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Muhammadiyah.

R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan sampai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan yang dicita-citakan.

Kemauan berkorban dan kegigihan dalam mendorong dan mendukung perjuangan suami di segala bidang, terutama dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi contoh dan sumber inspirasi bagi keluarga besar Muhammad Saleh Werdisastro yang terdiri dari anak dan menantunya yaitu: Ir. Muhammad Mansur Werdisastro beserta isteri Su’udiyah, BA, Kolonel TNI (Purn) Drs. Muhammad Ilyas Werdisastro beserta isteri Roostien Iljas, DR. Drs. Muhammad Muhtadi Werdisastro beserta isterinya Ajeng Tarlina, Farida, BA. beserta suami Maryanto Danoesapoetro, SE, dan Prof. DR. Ny. Badriyah Rifai, SH beserta suami Prof. Dr. Achmad Rifai Amirudin, SpPd., KGEH.

sumber: tokohindonesia.com

Tidak ada komentar: