Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 November 2011

Profil KH. Moh. Tidjani Djauhari, M.A.


Ulama, Cendekiawan, dan Mujahid Tarbiyah

KH. Moh. Tidjani Djauhari, M.A
Pengabdian kepada umat harus senantiasa dilakukan secara kaffah, total dan maksimal. Demikian prinsip yang mengakar kuat di jiwa (alm) KH. Moh. Tidjani Djauhari, M.A. hingga maut menjemputnya, Kamis, 27 September 2007. Ibarat matahari, kehadiran Tidjani, tidak saja sebagai penebar cahaya, ia adalah cahaya itu sendiri yang mampu menerangi ruang kesadaran umat Islam dari segala penjuru.

Matahari Itu Terbit

Moh. Tidjani dilahirkan pada 23 Oktober 1945 di Prenduan, sebuah desa kecil 22 km di sebelah timur kota Pamekasan dan 30 km di sebelah barat kota Sumenep. Kelahirannya menyempurnakan suara genderang kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonialisme. Mendidihkan gemuruh jihad para mujahid fi sabilillah ketika mempertahankan harkat dan martabat bangsa Indonesia dengan segala jiwa dan raga. Saat itu, Prenduan, juga kota-kota lainnya di Indonesia, berada dalam euforia kemerdekaan setelah 350 tahun lamanya hidup dalam kerangkeng penjajah.

Moh. Tidjani adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, KH. Djauhari Chotib, adalah seorang ulama besar, tokoh Masyumi, dan pendiri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Kepemimpinan KH Djauhari di Hizbullah, berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan mental kepemimpinan Tidjani di masa mendatang.

KH. Tidjani dalam suatu acara
Ditilik dari silisilah ayahnya, ada darah keturunan KH. As’ad Syamsul Arifin, ulama kharismatik pendiri PP. Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo, mengalir di jiwanya. “Almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah sepupu dari nenek saya. Jadi masih keluarga sendiri,’ tukasnya suatu ketika. Sedangkan dari pihak ibunya, Nyai Maryam, ia adalah keturunan Syaikh Abdullah Mandurah, salah satu muthowib di Mekkah asal Sampang, Madura, yang banyak melayani jamaah haji Indonesia.

Sejak kecil, Moh. Tidjani tumbuh berkembang dalam ranah pendidikan Islam yang sangat kental. Hal itu tak lepas peran ayahnya, Kiai Djauhari, yang berobsesi kelak Tidjani mampu menjelma pribadi muslim yang memiliki mental dan kepribadian yang tangguh. Karena itu, Tidjani kecil sangat akrab dan menikmati pendidikan keagamaan yang telah diterimanya sejak kecil. Tahun 1953, Tidjani menapakkan kakinya di bangku Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ulum Al-Washiliyah (MMA). Di sinilah, ia memulai belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Hari-hari baginya adalah kesempatan emas untuk mengasah diri dan memperluas wawasan keilmuan. Tidjani sebagai matahari kecil mulai menebarkan cahaya. Cahayanya menelisik dan meranumkan senyum masyarakat Prenduan saat itu yang menaruh harapan besar di pundaknya.

Dari Gontor ke Saudi Arabia

Mengetahui minat dan bakat intelektual yang terpendam dalam Tidjani cukup besar, tahun 1958, Kiai Djauhari mengirimnya untuk nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor. Apalagi, Kiai Djauhari cukup kagum dengan sistem dan pola pendidikan modern yang diterapkan di pondok pimpinan KH. Imam Zarkasyi itu. Sebuah pondok yang tidak mengenal kamus dikhotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Di sinilah, Tidjani memulai petualangan ilmu pengetahuannya. Tidak saja ilmu-ilmu keagamaan an sich yang ia pelajari, melainkan juga keterampilan dasar kepemimpinan dan manajemen. Tidjani dikenal santri yang cerdas. Tak ayal, prestasi akademik tertinggi pun selama nyantri Gontor diraihnya.

Bulan Januari 1964, Tidjani tamat dari KMI Gontor dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) (ISID sekarang, red) sekaligus menjadi guru KMI Gontor. Waktu itu, Tidjani dipercaya sebagai sekretaris Pondok dan staf Tata Usaha PTD. Jabatan ini tergolong baru di Gontor. Jadilah Tidjani sebagai sekretaris pertama di Pondok Modern Gontor. Posisi sebagai sekretaris ia manfaatkan dengan maksimal. Jabatan inilah yang memungkinkannya untuk melakukan interaksi secara luas dengan berbagai pihak secara intens, tak terkecuali dengan (alm) KH. Imam Zarkasyi, yang kelak menjadi mertuanya, setelah Tidjani mempersunting putrinya, Anisah Fathimah Zarkasyi. Inilah kado paling berharga dalam petualangan panjang Tidjani belajar di Gontor, sekaligus menandai lahirnya babak baru komunikasi edukatif antara Al-Amien dan Gontor.

Setelah mengabdi setahun di Gontor, tahun 1965, Tidjani melanjutkan studinya di Universitas Islam Madinah. Ia diterima di Fakultas Syariah. Kesuksesan studinya di universitas ini, di antaranya, berkat usaha kakeknya, Syeikh Abdullah Mandurah. Tahun 1969, Tidjani tamat belajar tingkat license dari Fakultas Syariah Jamiah Islam Madinah dengan predikat mumtaz. Tak puas, tahun 1970, Tidjani melanjutkan studi magisternya di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah, hingga akhirnya lulus tahun 1973, dengan tesis “Tahqiq Manuskrip Fadhail Al-Quran wa Adaabuhu wa Muallimuhu li-Abi Ubaid Al-Qosim” (Keistimewaan Al-Quran: Etika dan Rambu-rambunya dalam Perspektif Abu Ubaid Al-Qosim). Sebuah kajian mendalam tentang sebuah manuskrip kitab tentang Al-Quran yang dikarang oleh Abu Ubaid Al-Qosim, seorang ulama Syam, yang hidup sezaman dengan Imam Syafi’ie. Bahasa asli kitab ini masih menggunakan bahasa Romawi. Untuk kepentingan inventarisasi dan pendalaman bahan penelitian ini, Tidjani menjelajahi perpustakaan-perpustakaan di Turki, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol hingga Mesir. Alhasil, penjelajahan intelektual-akademisi yang cukup melelahkan itu mengantarkannya meraih predikat mumtaz (cum laude) dari Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah.

Selain aktivitas kampus, sejak 1967-1986, Tidjani aktif berkiprah dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), Saudi Arabia, baik sebagai sekretaris, ketua, dan terakhir tercata sebagai penasihat PPI.

Menggayuh Karier di Rabithah ‘Alam Islami

Kisah ini bermula ketika M. Natsir – dai, ulama, politisi, ketua Partai Masyumi, dan mantan Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia (1950-1951) — menghadiri undangan sebagai tamu pemerintah Saudi Arabia untuk mengetahui tim ulama dari Saudi Arabia, Irak, Tunisia, Maroko dan Mesir guna mengantisipasi problematika tanah Quds setelah jatuh ke tangan Zionis Yahudi tahun 1967. Saat itu, M. Natsir tercatat sebagai anggota Rabithah Alam Islami dan Muktamar Alam Islami. Kedatangan M. Natsir dimanfaatkan oleh Tidjani untuk berkenalan dan bersilaturrahim. Tidjani mengagumi sosok M. Natsir sebagai pibadi besar dan berwibawa. Tidjani masih tercatat sebagai mahasiswa di Jamiah Islamiyah Madinah.

Dalam kunjungan selanjutnya, M. Natsir mendengar ada putra Indonesia yang meraih predikat terbaik di Jamiah Malik Abdul Aziz, Mekkah. Mengetahui itu, M. Natsir takjub dan segera mencari informasi siapa putra Indonesia itu. Yang kemudian diketahui bernama Moh. Tidjani. Atas prestasi yang dicapainya itu, tahun 1974, M. Natsir merokemendasikan Tidjani untuk diterima bekerja di Rabithah Alam Islami. Sejak tahun itulah, Tidjani resmi berkarier di Rabithah Alam Islami dengan jabatan pertama sebagai muharrir (koresponden) yang tugas mengurusi surat-menyurat yang datang dari berbagai penjuru dunia. “Pak Natsir minta saya agar tidak pulang ke Indonesia dan belajar dulu di Rabithah. Saya menerima nasihat tersebut,” kenang Tidjani.

Kariernya di Rabithah melesat cepat. Beberapa jabatan penting pernah direngkuhnya, antara lain: Anggota Bidang Riset (1974-1977), Sekretaris Departemen Konferensi dan Dewan Konstitusi (1977-1979), Direktur Bagian Penelitian Kristenisasi dan Aliran-aliran Modern yang Menyimpang (1979-1981), Direktur Bagian Keagamaan dan Aliran-aliran yang Menyimpang (1983-1987), dan Direktur Bagian Riset dan Studi (1987-1988).

Keaktifannya di Rabithah Alam Islami inilah yang mengantarkannya menjelajahi berbagai negara di belahan dunia: Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia. Di antaranya, tahun1976, Tidjani mengikuti Konferensi Islam di kota Dakkar, Senegal. Pada tahun yang sama, hadir dalam Konferensi Islam Internasional di Mauritania, Afrika. Tahun 1977, Tidjani mengikuti Seminar Hukum Islam di Chou University, Tokyo, Jepang. Sementara pada tahun 1978, Tidjani mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Velenova University, Philadelpia dan Dallas, Texas, Amerika Serikat.

Antara tahun 1978-1982, Tidjani terpilih sebagai salah wakil Rabithah yang dikirim sebagai tim rekonsiliasi untuk menuntaskan masalah muslim Mindanau, Piliphina. Tugas yang sama dibebankan kepadanya, ketika tahun 1983, dikirim sebagai tim rekonsiliasi masalah politisasi agama di Burma dan konflik di Bosnia. Pada tahun ini pula, Tidjani mengikuti Pertemuan Lintas Agama di Birmingham dan Leeds University, Inggris.

Berlabuh di Al-Amien Prenduan

Ketika kariernya Rabithah Alam Islami berada di puncak. Tidjani memutuskan untuk pulang kampung halaman. Ibarat kacang, Tidjani tidak pernah lupa kulitnya. Bulan Januari 1989, Tidjani beserta keluarga tiba di Indonesia setelah kurang lebih 23 tahun lamanya bermukin di Tanah Suci, Mekkah. Tidjani sudah mencicipi asin garam perjalanan dakwah lewat organisasi Rabithah Alam Islami. Bahkan, manis pahitnya kebudayaan Timur Tengah sudah ia rasakan. Dalam komunikasi Bahasa Arab, boleh dikatakan, lisan Tidjani adalah lisan Arab.
Kepulangannya di Al-Amien Prenduan disambut gegap gempita. Tidjani memaknainya sebagai babak baru perjalanan dakwahnya, khususnya di bidang pendidikan. Misinya adalah merealisasikan dan menyempurnakan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, yang telah didirikan oleh ayahnya, Kiai Djauhari Chotib, tahun 1971, menjadi lembaga pendidikan Islam ala Gontor yang berkualitas, kompetitif, dan bertaraf internasional.

Bersama Idris Jauhari, adiknya, yang lebih awal eksis membina pondok sejak tahun 1971 dan Maktum Jauhari, adiknya, yang tiba dari Kairo, Mesir, setahun kemudian. Serasa mendapat amunisi baru, ketiganya, ditambah unsur pimpinan yang lain, bergerak cepat melakukan pembenahan dan penyempurnaan. Hasilnya, di antaranya, adalah pembangunan Masjid Jami’ Al-Amien (1989) dan membuka Ma’had Tahfidzil Quran (MTA) (1991) serta mengembangkan status Sekolah Tinggi Agama Islam menjadi Institut Dirosah Islamiyah Al-Amien (IDIA), dan pendirian Pusat Studi Islam (Pusdilam) (2003).

Dalam kurun waktu 18 tahun (1989-2007), Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan telah menjelma sebagai pondok yang representatif, disegani, dan berwibawa, sekaligus sebagai pondok tempat menyiapkan kader-kader pemimpin umat yang kompeten dan mumpuni. Hingga September 2007, sebanyak 5.243 santri, yang berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia dan negera-negara tetangga, belajar dan menempa diri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Dari Madura untuk Bangsa

“Jangan membangun di Madura, tapi bangunlah Madura,” demikian tegas Tidjani, pada sebuah kesempatan, menyikapi rencana industrialisasi Madura yang didahului dengan pembangunan jembatan Suramadu. Timbulnya dampak negatif-destruktif dari pembangunan Suramadu menjadi kekhawatiran banyak pihak, tak terkecuali Kiai Tidjani. Bersama ulama se Madura yang tergabung dalam Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Tidjani melakukan serangkaian kegiatan, agar nantinya, pembangunan di Madura berjalan dalam koridor yang selaras dengan nilai-nilai budaya Madura yang islami. Ia menolak keras eksploitasi Madura demi kepentingan ekonomi semata.

Ide segarnya tentang “provinsiliasi Madura” hingga menjadikan Madura sebagai “Serambi Madinah” mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Respon itu seperti tertuang dalam Hasil Kesimpulan Seminar Ulama Madura tentang Pembangunan dan Pengembangan Madura (1993), Piagam Telang Madura (1997), Rumusan Sarasehan “Menuju Masyarakat Madura yang Madani” (1999), Deklarasi Sampang (2006).

Terkait pebangunan di Madura, Tidjani menegaskan ada dua (2) hal yang harus segera dilakukan. Pertama, pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat Madura berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang kokoh untuk meminimalisir dampak pembangunan. Kedua, pendidikan. Pendidikan terkait dengan penyiapan SDM yang berkualitas, hingga nantinya masyarakat Madura mampu memanfaatkan pembangun bukan malah dimanfaatkan oleh pembangunan. Nantinya, masyarakat Madura tidak lagi menjadi “orang asing” di negerinya sendiri.

Layaknya seorang kiai, sayap dakwah yang dikembangkan Tidjani tidak saja berputar pada persoalan Madura saja, totalitas pengabdian dan kiprahnya menjangkau segala persoalan bangsa, baik sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.

Tidjani berusaha merekam segala detail persoalan dan problematika yang dihadapi umat Islam saat ini. Ketika aksi pornografi dan pornoaksi merebak dan meresahkan masyarakat, Tidjani beserta ulama BASSRA membuat pressure agar persoalan ini segera dituntaskan. Saat umat Islam Palestina diinjak-injak martabatnya oleh Zionis Yahudi, Tidjani, lewat BASSRA, mengutuk keras aksi biadab Zionis Yahudi dan menyerukan aksi solidaritas dari seluruh umat Islam sedunia.

Kecendekiawanan dan ketokohannya memantik apresiasi positif dari berbagai pihak. Berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain, Ketua Forum Silaturrahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Pondok Modern Gontor (1992-2007), Dewan Pakar ICMI Jatim (1995-2000), salah seorang pendiri Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren (BSPP) (1998), dan Ketua II Majlis Ma’had Aly Indonesia (2002)

Setelah 62 Tahun

Setelah 62 tahun, Tidjani mengabdikan dirinya untuk umat dan bangsa. Allah memanggilnya ke haribaan-Nya dengan senyum, Kamis dini hari (27/9) sekitar pukul 02.00 WIB di kediamannya. Almarhum wafat akibat penyakit jantung. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan ini meninggalkan seorang istri (Ny. Hj. Anisah Fathimah Zarkasyi), 3 putra (KH. Ahmad Fauzi Tidjani, MA, Imam Zarkayi, Abdullah Muhammadi), 5 putri (Hj. Shofiyah, Hj. Aisyah, Afifah, Amnah, dan Syifa’), dan 2 cucu (Syafiqoh Mardiana dan Ayman Fajri).

Selamat jalan Kiai! Semoga Allah menerima amal baik dan menempatkan Kiai di surga-Nya. Amin.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Muhammad Saleh Werdisastro, Penulis Buku Babad Sumenep

Berkat sumbangsihnya di dunia pendidikan, militer dan pemerintahan, nama, gambar dan foto dirinya diabadikan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan dalam satu ruang tersendiri di Museum Monumen Yogya. Aktivis Muhammadiyah ini pernah mendirikan sekolah, berjuang bergerilya bersama Jenderal Soedirman, menjadi salah seorang pendiri Universitas Gajah Mada, walikota dan residen berpangkat gubernur. Bahkan namanya dijadikan nama jalan yang terletak di daerah Banjarsari Kota Surakarta.

Muhammad Saleh Werdisastro adalah pria Madura kelahiran Sumenep 14 Mei 1908, putra dari cedekiawan R. Musaid penyusun Buku Babad Sumenep. Sang ayah kemudian dianugerahi sejumlah uang (gulden) dan gelar Werdisastro (werdi = memberi arti, sastro = sastra) oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Muhammad Saleh Werdisastro
Naskah Babad Sumenep diterbitkan menjadi buku oleh Balai Pustaka pada tanggal 15 Pebruari 1914 (buku tersebut masih menggunakan bahasa Madura huruf Jawa). Sejak mengeluarkan buku yang banyak menggunakan simbol dan kiasan untuk mengobarkan semangat anti-penjajahan atau anti-kompeni, R. Musaid terkenal dengan nama R. Werdisastro. Untunglah Belanda tidak menangkap makna sebenarnya dari buku itu, malah memberikannya penghargaan.

Untuk memasyarakatkan Babad Sumenep, sang ayah berencana hendak menyusun ulang buku itu dengan menguraikan kiasan atau simbolnya menjadi arti sebenarnya sejalan dengan sejarah. Namun manusia boleh berencana, Allah jua yang menentukan. Sampai wafatnya pada tahun 1955, rencana sang ayah tidak terlaksana.

Semasa hidupnya, sang ayah tertarik dengan ajaran Muhammadiyah dan mendirikan Muhammadiyah cabang Sumenep karena kedekatannya dengan Ketua Umum Muhammadiyah, Kyai Haji Mas Mansur yang kemudian memberikan bantuan tenaga pengajar kepada Muhammadiyah cabang Sumenep.
Memajukan Pendidikan

Muhammad Saleh Werdisastro menamatkan sekolahnya tanggal 15 Mei 1930 di Hogere Kweekschool (HKS) yang dijalani di Purworejo 1 tahun dan di Magelang 2 tahun. Saat itu ia merupakan aktivis Muhammadiyah dan Boedi Oetomo. Setelah tamat HKS, ia diangkat menjadi guru Gouvernements Hollands Inlandse School (HIS) di Rembang mulai 1 Juni 1930.

Merasa cukup bekerja kepada pemerintah Hindia Belanda selama 1 tahun, dia pun minta berhenti. Tanggal 30 Juli 1931, Muhammad Saleh Werdisastro resmi diberhentikan dengan hormat dan kembali ke Sumenep sesuai cita-citanya untuk memajukan pendidikan di daerah kelahirannya.

Pada 1931, di Sumenep hanya ada 1 sekolah Hollands Inlandse School (HIS) yang hanya boleh dimasuki anak-anak Belanda, ningrat atau priyayi serta anak-anak orang kaya. Melihat hal itu Muhammad Saleh Werdisastro tergerak hatinya untuk mendirikan sekolah semacam HIS yang dapat dimasuki anak-anak dari lapisan atas sampai lapisan bawah, dari yang kaya sampai yang paling miskin sekalipun, dengan menggunakan biaya sendiri.

Berbagai persiapan mulai dari pembelian sebidang tanah di Karembangan berserta dengan bangunan sekolahnya, sampai dengan menyiapkan guru-guru yang diperkirakan setara dengan guru-guru HIS. Guru-guru tersebut antara lain dikenal dengan nama Meneer Ahmad, Meneer Badroel, Meneer Perwira dan lain-lain.

Setelah beberapa bulan persiapan, maka pada tanggal 31 Agustus 1931 diresmikan sekolah dengan nama Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep dengan kepala sekolahnya Meneer Muhammad Saleh Werdisastro.

Sejak itu masyarakat Sumenep yang terdiri dari anak-anak orang kebanyakan, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin dari semua lapisan masyarakat dapat diterima menjadi murid di sekolah tersebut.
Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep yang berdiri taangal 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan di luar dugaan. Anak-anak dari berbagai golongan terutama dari golongan miskin dapat bersekolah setingkat dengan sekolah Belanda dimana kelas 3 mulai diberi pelajaran bahasa Belanda, selanjutnya pada kelas 6 dan kelas 7, guru-gurunya memberi pelajaran dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

Rasa kebangsaan ditanamkan pada para murid terekspresikan dengan dilantunkannya lagu-lagu perjuangan setiap hari, terutama lagu Indonesia Raya. Akibatnya dalam suatu inspeksi Residen Madura ke PHIS, Muhammad Saleh Werdisastro mendapat teguran karena murid PHIS tidak dapat menyanyikan lagu Wilhelmus.

Selama berdirinya PHIS, murid-murid laki-laki pada umumnya dapat menamatkan sekolahnya, namun lain halnya dengan murid-murid perempuan. Hampir semua murid perempuan sekolahnya berhenti di tengah jalan karena dikawinkan oleh orang tuanya.

Di sela-sela kesibukannya mengurus Sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, Muhammad Saleh Werdisastro juga menjadi Ketua Hisbul Wathon (HW) Madura yaitu perkumpulan kepanduan atau pramuka yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Dia juga masih bisa menyisihkan waktu untuk memperdalam agama Islam di pondok-pondok pesantren yang tersebar di pulau Madura.

Selama 5 tahun berguru dari kyai yang satu ke kyai yang lainnya, masing-masing kyai menyatakan bahwa Muhammad Saleh Werdisastro telah lulus dari pesantrennya. Rupanya bekal pengetahuan agama Islam tersebut selalu digunakan sebagai referensi dalam langkah-langkah mengarungi kehidupan selanjutnya.
Setelah 11 tahun Muhammad Saleh Wardisastro memimpin sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, dia mulai berfikir tentang kaderisasi pengelolaannya kepada putra-putra Sumenep. Maka pada tanggal 1 September 1941 dia menyerahkan jabatan Kepada Meneer Badroel dan Muhammad Saleh Werdisastro sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk lebih membaktikan dirinya pada Muhammadiyah.

Menjadi Tentara

Sejak itu beliau menjadi guru Gesubsidieerde Inheemse MULO Muhammadiyah Yogyakarta. Kegiatan mengajar di MULO Muhammadiyah itu berlangsung sampai tentara Dai Nippon menduduki Indonesia. Sewaktu calon-calon pemimpin Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dicarikan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah oleh pemerintah Dai Nippon, terpilih Muhammad Saleh Werdisastro bersama tokoh-tokoh Muhammadiyah yang lainnya seperti Soedirman (kemudian menjadi Panglima Besar TNI), Kyai Muhammad Idris, Kyai Doeryatman, Soetaklaksana, Kasman Singodimejo, Moelyadi Djojomartono, dan lain-lain.

Pada tanggal 31 Agustus 1943, ia mulai menjalani pekerjaan militer sebagai Dai Dancho Dai Dang II Yogyakarta (dai dancho = mayor) bermarkas di Bantul yang tertelak di selatan kota Yogyakarta. Tentu saja sebagai orang Muhammadiyah dia banyak merekrut orang Muhammadiyah untuk masuk PETA.

Pada waktu itu Muhammad Saleh Werdisastro mendapat berita dari Sumenep bahwa gedung sekolah PHIS Soemekar Pangabru diambil alih dan dijadikan markas Tentara Jepang. Dengan rasa kecewa yang mendalam namun tetap tegar, Muhammad Saleh Werdisastro yakin bahwa suatu saat nanti sekolah itu pasti dapat hidup kembali.

Rupanya keyakinannya itu, yang diucapkan pada tahun 1943 akhirnya menjadi kenyataan juga. Anak tertuanya Ir. Muhammad Mansur Werdisastro mempelopori mewujudkan kembali cita-cita ayahnya dengan cara memberikan bantuan berupa tanah berikut bangunan sekolah di Panglegur Sumenep kepada Muhammadiyah sebagai ganti bangunan sekolah SMU Muhammadiyah.

Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Tentara PETA dibubarkan dan bekas perwira-perwiranya tampil ke depan memegang posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Muhammad Saleh Werdisastro tak terkecuali.
Pada tanggal 1 September 1945 beliau diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta yang pertama. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1946 dia juga diangkat sebagai anggota KNI Pusat. KNI daerah dan KNI Pusat ini adalah cikal bakal yang di kemudian hari menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Pada bulan Oktober 1945, tentera Jepang di Yogyakarta belum juga mau menyerahkan senjatanya kepada Pemerintah RI. Dalam suasana genting dengan tentara Jepang, Muhammad Saleh Werdisastro ditunjuk sebagai Ketua Team Perundingan Perlucutan Senjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Tentara Jepang di Yogyakarta. Perundingan ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak sehingga pecah insiden yang terkenal dengan Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta.

Muhammad Saleh Werdisastro yang juga menjadi ketua Laskar Rakyat, Ketua Barisan Banteng dan Ketua Hisbullah juga ikut memimpin barisan yang akhirnya menjadi anggota Dewan Penasehat Tentara Nasional Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri dari kalangan militer, politikus, dan pemimpin agama. Dalam dewan itu ia duduk bersama-sama dengan tokoh agama Islam yang lain seperti Harsono Tjokroaminoto, Didi Kartasasmita. Ia pun ikut bahu membahu dengan pasukan yang lain dalam Pertempuran Ambarawa yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Pada waktu terjadi pemberontakan PKI Madiun yang terkenal dengan Affair Madiun tahun 1948, dia ikut membentuk Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Muhammad Saleh Werdisastro sebagai orang Muhammadiyah menginginkan orang-orang Muhammadiyah ikut berperan dalam tubuh TNI dan Polisi Negara.

Hal itu dilaksanakan dengan menyumbangkan 2 batalyon Barisan Hisbullah ke dalam TNI dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Perjuangannya terus berlanjut sampai terjadi clash ke-2 tahun 1948 dimana Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia waktu itu diserang dan diduduki Belanda yang menyerbu dengan menggunakan Tijger Brigade. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Mr Muhammad Roem serta pemimpin-pemimpin lainnya ditangkap Belanda.

Panglima Besar Soedirman keluar kota Yogyakarta untuk memimpin gerilya melawan Belanda. Demikian pula beberapa menteri Republik Indonesia seperti Dr. Soekirman, Soepeno, J. Kasimo, dan Mr. Soesanto Tirtoprojo. Muhammad Saleh Werdisastro yang waktu itu menjabat Penasehat Mendagri Dr. Soekirman, dengan pangkat Letnan Kolonel TNI, ikut keluar kota, bergerilya di daerah Yogyakarta, kadang-kadang di daerah Surakarta dan Madiun.

Ia juga pernah mengikuti Panglima Besar Soedirman bergerilya dari Trenggalek sampai Pakis di Pegunungan daerah Pacitan. Setelah Yogyakarta kembali ke Republik Indonesia, Muhammad Saleh Werdisastro pada tanggal 15 Oktober 1949 ditunjuk duduk dalam perwakilan Dewan Penasehat Delegasi Republik Indonesia di Joint Committee. Setelah itu, dia tidak melanjutkan karier dalam militer lagi. Dia lebih memilih berkarir dalam bidang pamong praja samabil meneruskan idealismenya sebagai pendidik dan aktivis Muhammadiyah.
Rupanya perjuangan Muhammad Saleh Werdisastro sebagai Perintis Kemerdekaan tahun 1945 mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan mengabadikan nama, gambar, atau foto dirinya serta barang-barang peninggalan waktu menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta yang pertama dalam satu ruang tersendiri di Musium Monumen Yogya Kembali.

Pamong Praja

Karier Muhammad Saleh Werdisastro dalam pamong praja dimulai sebagai Wakil Walikota Yogyakarta pada tanggal 1 Pebruari 1950. Sebagai Wakil Walikota dia aktif di Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta. Di samping itu dia juga ikut sebagai salah seorang pendiri Universitas Gajah Mada.

Mulai tanggal 1 Agustus 1951 sampai dengan tanggal 17 Pebruari 1958 (dipilih untuk 2 periode) Muhammad Saleh Werdisastro menjabat sebagai Walikota Surakarta. Pada masa itu di samping tetap sebagai anggota Majelis Tanwir Muhammadiyah Pusat, juga mulai giat sebagai mubaliq mengadakan dakwah atau ceramah agama Islam di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di bidang pendidikan dia mempelopori berdirinya Universitas Surakarta dan ikut aktif sebagai pengurus IKIP Muhammadiyah Surakarta bersama Drs. Sosrodiningrat dan Prof. Sigit.

Warga Surakarta rupa-rupanya terkesan dengan kepemimpinan Walikota Muhammad Saleh Werdisastro, sehingga untuk mengenang jasa-jasanya warga Surakarta mengabadikan namanya menjadi nama jalan dengan nama jalan Muhammad Saleh Werdisastro, terletak di daerah Banjarsari Kota Surakarta.

Pada tanggal 29 Pebruari 1959, Muhammad Saleh Werdisastro diangkat menjadi Residen Kedu berkedudukan di Magelang. Untuk mengantisipasi pengaruh komunisme dalam militer, Muhammad Saleh Werdisastro secara tetap memberikan ceramah atau kuliah agama Islam di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Dalam bidang pendidikan dia memelopori berdirinya Universitas Magelang, bahkan sebelum adanya gedung yang memadai, kegiatan Universitas dan kuliah-kuliah dilaksanakan di Aula Keresidenan Kedu.

Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri karirnya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya di perkirakan tidak lebih dari 1 tahun.

Pada tahun 1965 dia sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk menjalani masa pensiun disertai advis dari tim dokter agar banyak beristirahat. Namun, dia tidak mau berhenti berkarya. Ia masih terus melakukan kegiatan di Majelis Tanwir Muhammadiyah, dakwah agama Islam, ceramah, dan mengajar di universitas.

Bahkan dia bersama teman-teman Muhammadiyah mengelola Harian Mercusuar Yogyakarta. Dia memang seorang pejuang yang penuh dengan ide-ide dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pikiran-pikirannya cemerlang dan diusahakannya untuk menjadi kenyataan. Namun kegiatan-kegiatannya yang meningkat rupanya tidak didukung kesehatan badannya yang mulai digerogoti penyakit lamanya.

Muhammad Saleh Werdisastro kembali jatuh sakit dan pada tahun 1966 dia wafat karena penyakit kanker levernya yang semakin parah. Dia sempat beberapa hari dirawat di Rumah Sakit PKO Muhammadiayah Yogyakarta. Jenazahnya dimandikan oleh warga Muhammadiyah, dan kerandanya ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah.

Ketika pihak militer meminta jenazah Muhammad Saleh Werdisastro untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta karena almarhum memiliki Bintang Gerilya, pihak Muhammadiyah menolak karena Muhammad Saleh Werdisastro begitu besar jasanya kepada Muhammadiyah sehingga untuk menghormatinya, jenazah beliau dimakamkan berdampingan dengan pendiri Muhammadiyah lainnya, Kyai Haji Achamad Dahlan di pemakaman Karangkajen Yogyakarta.

Warga Muhammadiyah benar-benar kehilangan dan berkabung. Jalan-jalan sekitar kediamannya penuh dengan warga Muhammadiyah berbaur dengan massa yang lain. Ribuan pelayat mengiringi jenazah Muhammad Saleh Werdisastro yang dipikul secara bergantian oleh warga Muhammadiyah sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta kurang lebih 2 km menuju Masjid Besar Alun-alun Utara Yogyakarta untuk disalatkan.

Toko-toko di sepanjang jalan yang dilalui jenazah banyak yang menyediakan minuman di depan tokonya untuk diminum para pelayat. Di antara pelayat yang berjalan kaki terdapat Ketua Umum Muhammadiyah Kyai Haji Achmad Badawi, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal TNI Soerono, Komandan Korem Yogyakarta Kolonel TNI Leo Ngali serta pejabat-pejabat lainnya dari Yogyakarta, Surakarta, Magelang, dan Semarang. Semua kendaraan menepi memberi jalan bagi jenazah beserta ribuan pelayat.

Setelah dishalatkan, jenazah dipikul lagi sekitar 2 km menuju Pemakaman Karangkajen. Ribuan pelayat dengan dipandu warga Muhammadiyah membaca doa membesarkan nama Allah sepanjang jalan, di pemakaman Karangkajen, ribuan pelayat mengaminkan doa Sang Iman, memohonkan ampun kepada Allah SWT serta memberikan penghormatan terakhir kepada seorang hamba Allah bernama Muhammad Saleh Werdisastro yang selama hidupnya mengabdikan dirinya kepada negara, bangsa, dan agama Islam khususnya Muhammadiyah.

Menikahi Perempuan yang Rela Berkorban

Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama R. Ayu Masturah, putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama R. Setjodipoero. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka dua mendapat bimbingan dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.

Ia juga aktif dalam kegiatan-kegiatan ibu-ibu yang tergabung dalam Aisyah. Dia dapat menjadi contoh ibu teladan yang dengan setia dan penuh pengorbanan mendampingi suaminya dalam perjuangan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dengan 5 anak yang masih belum dewasa, dia rela ditinggal suami di Yogyakarta, karena sang suami harus berjuang, bertempur sampai bergerilya melawan penjajah Belanda dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Sebagai isteri seorang pejuang kemerdekaan, R. Ayu Masturah sering mendapat teror dan diancam akan dibunuh sekeluarga. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan bersama teman-teman Muhammadiyah, dia beserta keempat anaknya mengungsi ke kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas penduduknya warga Muhammadiyah dan pejuang-pejuang kemerdekaan.

Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Di bidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu, ia menyekolahkan anak-anaknya di tingkat pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Muhammadiyah.

R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan sampai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan yang dicita-citakan.

Kemauan berkorban dan kegigihan dalam mendorong dan mendukung perjuangan suami di segala bidang, terutama dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi contoh dan sumber inspirasi bagi keluarga besar Muhammad Saleh Werdisastro yang terdiri dari anak dan menantunya yaitu: Ir. Muhammad Mansur Werdisastro beserta isteri Su’udiyah, BA, Kolonel TNI (Purn) Drs. Muhammad Ilyas Werdisastro beserta isteri Roostien Iljas, DR. Drs. Muhammad Muhtadi Werdisastro beserta isterinya Ajeng Tarlina, Farida, BA. beserta suami Maryanto Danoesapoetro, SE, dan Prof. DR. Ny. Badriyah Rifai, SH beserta suami Prof. Dr. Achmad Rifai Amirudin, SpPd., KGEH.

sumber: tokohindonesia.com

Jumat, 07 Oktober 2011

Oemar Sastrodiwirjo, Sang Guru yang Perhatian Terhadap Budaya Madura


Oemar Sastrodiwirjo lahir di Desa Pabian, wilayah Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur pada tanggal 12 Pebruari 1892. Sejak masih muda, ia sangat menggemari dan apresiatif terhadap budaya Madura, seperti gamelan, tembang macapat dan juga musik.  Ia sempat menamatkan Kweek School di Probolinggo Jawa Timur, karena itu setelah kembali ke Sumenep langsung diangkat menjadi guru HIS. Dan kemudian dipindah ke Bangkalan diangkat menjadi Kepala Sekolah Vervolg School. Setelah itu lalu menetap di Pamekasan sampai akhir hayatnya, yaitu wafat pada tanggal 14 Noipember 1985.
Selama di Pamekasan, ia secara berturut-turut mennajid guru HAS (Holland Arabische School), kemudian menjadi Penilik Sekolah, lalu menjabat sebagai Direktur PGSLP Bahasa Madura. Banyak buku yang ia tulis, antara lain Metode Pengajaran Bahasa Madura untuk Sekolah Dasar dan buku petunjuk melagukan Tembang Macapat Madura lengkap dengan notasinya.
Oemar SastrodiwirjoKeluarga Besar
Setelah malang melindung selama dia bertugas sebagai guru maupun jabatan lainnya di wilayah Sumenep, Bangkalan dan Pamekasan, pada tahun 1941 ketika di mutasi di Pamekasan sebagai S.O boven formasi dengan tugas utama yaitu memperbaharui buku-buku yang dipakai sekolah rakyat, bersama seorang Inspektur Belanda selama satu tahun menyelesaikan 19 naskah, yaitu : - Penuntun Pelajaran Bahasa Kelas I – III, -  Buku Pelancar Bahasa Kela I, – Penuntun Membaca Permulaan, – Buku Bacaan Siman ban Simin Kelas II – III, – Penuntun Mengenai Huruf Madura Kelas III, – Buku Penuntun Mengajar Menulis Halus, dan -  Buku Penuntun Mengajarkan Ilmu Bumi Permulaan.
Pada tahun  1943 menulis buku untuk penuntun PBH atas permintaan Kementerian Pengajaran dengan judul “Indonesia Membaca dan Menulis Bagian Bahasa Madura”. Dari penulisan buku ini ia mendapat hadian dan surat tanda puas dari Kepala Inspeksi Jawa Timur serta dari Gedeputeerde dan Guvernaur.
Karya tulis lainnya yaitu 
Mengubah dan memperbaiki buku Basa Madura jilif 1a – 1b dan 2a – 2b karangan Ratnawati Patmodiwiryo (adik kandungnya sendiri) serta buku penuntun Basa Madura jilid 1a-b dan 2a, serta buku Ma’on so Mu’in jilid 1 – 2.
Mengarang buku “Caretana Santre Gudigan” (dalam bahasa Madura)
Buku “Caretana P. Kadar”
Buku Bak-tebhagan
Buku “Caretana Bangsacara / Ragapatme”
Buku “Caretana Barakay”
Buku “Caretana P. Bajra”  (dilengkapi terjemahan Bahasa Indonesia)
Buku “Parebasan dan Saloka Madura”
Dari hasil proses kreatifnya tahun 1977  ia mendapat pengharhaan Piagam Hadiah Seni dari Pemerintah Pusat. Setelah purna tugas tahun 1958, ia aktif sebagai pemrasaran di berbagai saraserah tengang ejaan Bahasa Madura serja rajin menulis puisi untuk diterbitkan di media cetak Jawa Timur. (Syaf)

sumber: lontarmadura.com

Selasa, 19 Juli 2011

Didik J. Rachbini : Ekonom Dari Madura

Pria kelahiran Pamekasan 2 September 1960, dilahirkan dari pasangan suami istri, Rachbini dan Djumaatijah. Sebenarnya saat lahir oleh Ayahanda-nya beliau diberi nama Ahmad Junaidi, namun saat SD teman-temannya memanggilnya Didik dan Guru SD beliau merubah namanya menjadi Didik Junaidi Rachbini, dengan penambahan nama sang ayah di belakangnya.

Didik J. Rachbini Merupakan Salah satu putra Madura yang memiliki prestasi di kancah nasional, terutama dalam bidang ekonomi, selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh salah satu partai di Indonesia dan sempat memegang amanah sebagai Ketua Komisi VI DPR RI 2004-2009.

Pendidikan:

1. SD, SMP, SMA di Pamekasan, Madura 2.

2. S1 Institut Pertanian Bogor (1983)

3. S2 (MSc) Studi Pembangunan, Central Luzon State University, Filipina (1988)

4. S3 (PhD) Studi Pembangunan, Central Luzon State University, Filipina (1991)

Pekerjaan

1982 - 1983 Asisten dosen IPB, Bogor
1983 - 1985 Dosen IPB, Bogor
1985 - 1994 Peneliti LP3ES, Jakarta
1990 - 1991 Konsultan FAO
1991 - 1992 Kepala Program Penelitian, Jakarta
1992 - 1994 Wakil Direktur LP3ES, Jakarta
1993 - 1994 Dosen Universitas Nasional, Jakarta
1993 - 1995 Konsultan UNDP, Jakarta
1993 - Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
1995 - 1997 Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta
1995 - Pendiri dan Pengajar di Universitas Paramadina Mulya, Jakarta
1995 - 2000 Direktur Institute for Development of Economics & Finance, Jakarta
1997 - Pembantu Rektor I, Universitas Mercu Buana, Jakarta
1998 - Dosen Program Magister Manajemen UI, Jakarta

Buku:

1. Bank Indonesia: Menuju Independensi Bank Sentral by Didik J. Rachbini , Suwidi Tono

2. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, by Didik J. Rachbini

3. Ekonomi Politik: Kebijakan Dan Strategi Pembangunan by Didik J. Rachbini

4. Ekonomi Politik: Paradigma, Teori, Dan Perspektif Baru by Didik J. Rachbini , INDEF (Organization), Center for Information and Development Studies (Indonesia)

5. Khazanah Pemikiran Ekonomi Indonesia by Didik J. Rachbini , Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (Indonesia)

6. Negara Dan Kemiskinan Di Daerah by Didik J. Rachbini

7. Pembangunan Ekonomi Rakyat Di Pedesaan: Sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan by Didik J. Rachbini , Hasan Basri

8. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi by Didik J. Rachbini

9. Risiko Pembangunan Yang Dibimbing Utang by Didik J. Rachbini


Alamat Rumah
Pesona Depok G-10, Depok 16431
Telepon (021) 527770 Faksimile (021) 52454427

Senin, 11 Juli 2011

D. Zawawi Imron Si Celurit Emas Dari Madura


D Zawawi Imron (lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura, 1945, tidak diketahui tanggal dan bulannya) adalah sastrawan Indonesia.

Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat ini tetap tinggal di desa kelahirannya. Dia memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).

Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002).


Karyanya Beliau

  1. Semerbak Mayang (1977)
  2. Madura Akulah Lautmu (1978)
  3. Celurit Emas (1980)
  4. Bulan Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
  5. Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985)
  6. Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
  7. Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
  8. Madura Akulah Darahmu (1999).

H.Muchaji Juragan Besi Tua dari Madura

Memulai bisnisnya pada 1980, Muchaji kini menjelma menjadi juragan besi tua terbesar di Tanah Air. Rahasianya?

Meski yang digelutinya adalah bisnis besi tua alias rongsokan, H. Muchaji tak selalu berada di sekitar tumpukan besi tua yang karatan dan berbau oli. Kantornya pun tidaklah pengap dan amburadul. Kantor pengusaha asal Madura ini, di Jl. Logistik, Jakarta, begitu nyaman, tertata rapi dan wah. Keramik-keramik Cina berukuran besar nongkrong manis di ruangan kantor itu. Di ruang tamu, terdapat gebyog berukir asal Jepara yang panjang dan indah. Di ruang kerja, semua perangkat mebelnya buatan Jepara dengan ukiran yang indah pula. Di belakang meja kerjanya, juga terdapat gebyog berukir yang tak kalah indah. Seluruh isi ruangan yang serba berukir dan tertata rapi itu seakan-akan memberi isyarat bahwa yang punya memang berselera tinggi.

Muchaji mulai menapaki Kota Jakarta pada 1976. Orang tua dan keluarganya adalah pebisnis barang antik di Surabaya. Terbawa arus kawan-kawannya, ia malah berbisnis besi tua. Mulanya, cuma membantu usaha teman-temannya sebagai penyuplai besi tua atau sekadar menjadi penghubung alias broker. Lama-kelamaan, karena usaha ini memberikan keuntungan lumayan, ia keterusan. Ia tak betah lagi sekadar menjadi penyuplai. Apalagi, setelah ia mengetahui liku-liku bisnis ini dan memiliki jaringan. Akhirnya, pada 1980 Muchaji memberanikan diri terjun langsung ke bisnis ini, ia mendirikan CV Victory. "Rasanya peruntungan saya memang di sini. Jadi, saya terjun sekalian. Telanjur basah,? tutur Muchaji.