A. Latar Belakang
Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang paling tidak ”bersahabat” untuk diperdengarkan bagi siapapun, karena secara realistis kemiskinan menunjukkan ketidakcukupan bagi komunitas yang merasakannya. Namun demikian, tidak jarang kemiskinan menjadi sebuah komoditas bagi sebagian komunitas lain untuk mendapat keuntungan dengan cara mengekploitasi kemiskinan, melalui sebuah upaya pembenaran situasional dengan berbagai argumen teoritis didalamnya dan semata-mata untuk mengedepankan kepentingan pribadi maupun golongan.
Secara teoritis, bahasan tentang kemiskinan telah banyak disampaikan oleh para pemerhati dan ilmuwan yang melakukan pendalaman kajian pada permasalahan kemiskinan, hingga muncul berbagai konsep dan pandangan serta upaya untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri. Salahsatu konsep budaya kemiskinan yang disampaikan seorang antropolog Budi Rajab (2004), memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Konsep tersebut memberikan pengertian bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang serta papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial stukturalnya. Sumberdaya material yang dimiliki dan dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya dan tidak memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Lebih lanjut disampaikan bahwa ada tiga pendekatan yang mencoba menjelaskan mengenai sebab-sebab kemiskinan, yaitu system approach, decision- making model dan structural approach. Berdasarkan pada pendekatan sistem (system approach), akar kemiskinan lebih diakibatkan dengan adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan atau pedalaman, sehingga perlu dilakukan intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar dalam mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumberdaya stuktural, sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi, selain juga harus diupayakan untuk membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi publik yang memungkinkan daerah yang bersangkutan menjadi terbuka, sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa, serta diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk (Budi Rajab, 2004).
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Sumitro Maskun (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana strategi untuk mengoptimalkan segala potensi yang dapat memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan struktural di Indonesia?
C. Teori yang Digunakan
1. Kemiskinan
Hall dan Midgley (2004:14), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. John Friedman, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada) modal yang produktif atau assets (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lainnya) sumber-sumber keuangan, organisasi sosial danm politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang; pengetahuan, keterampilan yang memadai dan informasi yang berguna (Richard Quinney,. 1979).
Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan :
“Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”.
Syaifuddin (2007), membagi cara berpikir yang memandang kemiskinan sebagai gejala absolut; dan, sebagai gejala relatif. Cara berfikir (model) mengenai kemiskinan sebagai gejala absolut memandang kemiskinan sebagai kondisi serba berkekurangan materi, hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki sarana untuk mendukung kehidupan sendiri. Cara pandang relativistik ini terdiri atas dua cara pandang, yakni cara pandang (model) kebudayaan, dan cara pandang (model) struktural. Kemudian, bermula pada tahun 1990an, terjadi perkembangan baru dalam pendekatan terhadap kemiskinan, yakni memandang kemiskinan sebagai proses. Pendekatan proses mengenai kemiskinan baru saja dikenal di Indonesia. Untuk sebagian besar, pendekatan yang digunakan di ruang ilmiah maupun praktis masih didominasi pendekatan kebudayaan dan struktural sebagaimana dibicarakan di atas.
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial mendefinisiikan kemiskinan sebagai berikut :
“Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan social. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”
Pentingnya menjelaskan kemiskinan dari perspektif Pembangunan Sosial ini dilatarbelakangi oleh dua alasan. Pertama, karena kemiskinan adalah tercerabutnya hak-hak dasar masyarakat, seperti akses pada pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga perlu dipahami bahwa kemiskinan bukan hanya faktor pemicu kejahatan namun kemiskinan adalah kejahatan itu sendiri. Kedua, penjelasan atas kemiskinan akan memperjelas faktor struktural yang memunculkan kemiskinan itu sendiri. Berbeda dari penjelasan stuktural makro yang selama ini digunakan, yang melihat kemiskinan sebagai masalah individual. Faktor struktural ini terutama adalah peran Negara dan Swasta (bisnis) sebagai stakeholder yang memilik akses terbesar terhadap sumber daya stuktural dan politik.
Kemiskinan di Indonesia menunjukkan angka yang memprihatinkan dari tahun ke tahun seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan. Sebuah fenomena yang tampaknya tidak mau berpindah dari persoalan negara dunia ketiga. Bahkan ini merupakan persoalan yang sangat krusial yang menentukan pergerakan sebuah negara menuju derajat keberhasilan pembangunan ke arah yang lebih maju.
Menurut James C. Scott dikutip dalam tulisan Gregorius Sahdan dalam mengatakan bahwa; Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James C.Scott, 1981).
2. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan ketidakmerataan terhadap sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat. Sedangkan kemiskinan kultural memandang bahwa faktor budaya dan kebiasaan (kultural) sebagai penyebab utama kondisi kemiskinan
Menurut Nasikum (1995; 56) terdapat tiga ciri kemiskinan struktural: jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, dan terasing dari kemungkinan partisipasi. Kemiskinan struktural didasarkan pada teori Johan Galtung yang menyatakan, mereka yang di luar ”pusat” yaitu mereka yang berada di ”pinggiran”. Ini mengindikasikan adanya dua kelas dalam suatu negara, yakni pusat dan pinggiran. Pusat punya kekuasaan secara politik, sedangkan pinggiran dibisukan oleh kemiskinan buatan pusat.
(Sritua Arief. 1977; 41) Faktor Struktural yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh bobroknya kinerja Pemerintah, banyaknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga distribusi kekayaan negara yang berlimpah tidak pernah sampai dan adil kepada masyarakat kelas bawah. Kekayaan negara dikuasai oleh kalangan elit tertentu, Pemerintah, aparat birokrat, dan sebagaian orang kalangan menengah keatas saja. Yang miskin semakin susah dan melarat sedangkan yang kaya semakin haus oleh kekayaan, dan hidupnya semakin konsumtif.
Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan tersebut, hampir semua kajian masalah kemiskinan berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan stuktural capital dan stuktural neoclasic ortodox (Elson, 1977). Secara umum, pendekatan yang dipergunakan lebih terkonsentrasi pada individual poverty sehingga aspek structural and social poverty menjadi kurang terjamah. Dalam Edi Suharto (2002) dikemukakan:
In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement.
Beberapa pendekatan dimaksud tercermin dari tolok ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).
3. Pemberdayaan Masyarakat
Fungsi pemberdayaan dimana pemerintah dibebani kewajiban untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan. Begitu juga peran swasta, perlu lebih digalakkan. Sedangkan fungsi pelayanan merupakan fungsi utama pemerintah dan cukup beragam sesuai dengan dinamika masyarakat. (H. Sumitro Maskun, 1997: 41)
Tugas pokok pemerintah sebagai suatu prganisasi modern sehingga suatu pemerintah itu dibentuk dan sekaligus merupakan fungsi utamanya adalah pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan terciptanya kondisi dimana setiap orang atau masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Nasikun, 1996 hal. 16)
Konsep pembangunan adalah gerakan mengubah serta memobilisasi lingkungan sehingga menjadi lebih kondusif bagi terciptanya masyarakat mandiri yang lepas dari berbagai bentuk eksploitasi. Itu berarti bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menyentuh persoalan stuktural dan teknologi, tetapi lebih dari ituadalah persoalan harkat dan martabat manusia (Sunyoto Usman, 1998, hal iii)
Memberdayaan masyarakat melalui proses pembangunan menuju suatu perubahan dengan tujuan melakukan reformasi di segala bidang maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) pembangunan harus berbasis pada kekuatan komunitas yang bersifat Bottom up daripada top down, (2) pembangunan tidak hanya berpusat pada birokrasi dan penguasa yang cenderung kurang demokratis tetapi berpusat pada kekuatan dan kedaulatan rakyat yang lebih demokratis, dan (3) pembangunan tidak lagi memihak pada kepentingan pengusaha dan penguasa yang hanya dinikmati oleh sekelompok orang tetapi memihak pada kepentingan orang banyak, terutama si miskin dan si lemah serta mengutamakan keadilan dan pemerataan. (Tadjudin N. Effendi,1999, hal. 120)
Upaya untuk membangun daya (potensi) yang dimiliki manusia atau masyarakat dengan mondorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepas diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Sumber daya manusia yang berupaya menumbuhkan kesadaran akan kemandiriannya yang memungkinkan mereka untuk secara kritis melihat situasi struktural yang melingkupi eksistensinya. Konsep ini menempatkan partisipasi masyarakat sebagai suatu hal yang sebenarnya ada dalam paradigma pembangunan yang seimbang antara pembinaan yang dilakukan pemerintah dengan aspirasi yang dating dari masyarakat (Moeljarto Tjokrowinoto1999, hal. 29)
D. Analisis
Tinjauan tentang pengeluaran keluarga dalam masyarakat, menggunakan ketentuan Biro Pusat Statistik (BPS). Dalam ketentuan BPS (2003) disebutkan, bahwa Garis Fakir Miskin (GFM) dilihat dari pengeluaran sebesar Rp.91.192,00,- per kapita per bulan atau GFM keluarga (5 jiwa) sebesar Rp.460.960,-.
Karateristik Kemiskinan di Indonesia, 2003
No Karakteristik Kemiskinan Penduduk Indonesia
1 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/Bln) 118.554
Perkotaan 138.803
Pedesaan 105.889
2 Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) 37.339.400
Perkotaan 12.263.700
Pedesaan 25.075.700
3 Berdasarkan Jenis Kelamin (Jiwa) 37.339.400
Laki-laki 18.811.700
Perempuan 18.527.700
4 Pengeluaran Untuk Makanan (%) 60.63
54.47
68.11
Sumber : Data Badan Pusat Statistik 2003
Berdasar angka dan uraian di atas dapat diinterpretasikan, bahwa kemampuan mereka untuk keluar dari permasalahan kemiskinan relatif sulit. Pada kasus ini, pendapatan (hasil), keterampilan dan pendidikan yang rendah merupakan suatu mata rantai. Keduanya saling berkaitan dan saling berpengaruh. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pandangan dari Rachmat Jalaludin (1999), bahwa produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah menyebabkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus begitu. Rangkaian tersebut sering disebut sebagai vicious circle atau lingkaran setan kemiskinan.
Dalam tata kehidupan dan penghidupan masyarakat, setiap keluarga tidak akan terlepas dari permasalahan (goncangan dan tekanan). Permasalahan yang dimaksud di sini dapat berupa permasalahan ekonmomi maupun sosial. Dari uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa keluarga fakir miskin mempunyai potensi untuk survive dalam berbagai kondisi. Dinamika dan mobilitas mereka dalam pekerjaan relatif tinggi. Dalam rangka menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress), pada dasarnya mereka mempunyai mereka mempunyai strategi yang cukup handal. Menurut Gunawan Sumodiningrat (1997), mereka adalah manajer dengan seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya.
Pendekatan kualitatif dalam kajian kemiskinan adalah pendekatan untuk menggali pendapat masyarakat (subjektif), termasuk kelompok miskin, mengenai kemiskinan, aspek-aspek sosial dari perilaku dan pengalaman kelompok miskin, dan mengetahui secara mendalam gaya hidup komunitas dan pengalaman yang berarti pada kelompok tersebut. Pendekatan ini secara umum digunakan untuk mencari jawaban tentang how-bagaimana dan why-mengapa. Pendekatan yang sering digunakan para ahli sosial dan antropologi ini merupakan pendekatan aras mikro, yaitu pada wilayah terbatas, namun mendalam.
Analisis kualitatif sangat kaya dengan varibel indikator karena bertolak dari individual dan kelompok beserta lapisan-lapisan relasinya, misalnya dalam relasi antar individual, keluarga ataupun hubungan produksi. Sebagai sebuah sistem kehidupan, analisis ini setidaknya akan menyangkut struktur, fungsi dan formasi masyarakat dalam kaitannya dengan kuasa dan kontrol dalam keluarga atau rumah tangga, serta dalam dinamika harmoni atau konflik. Analisis ini biasanya mengedepankan citra lokal yang kuat dan bercorak spesifik pada komunitas tertentu.
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran stuktural ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang stuktural. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran stuktural. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.
Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. (Moeljarto Tjokrowinoto, 1999)
Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah, semuanya merupakan faktor internal. Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait. Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja
E. Kesimpulan
Dari segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah ditempuh keluarga fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah anggota keluarga yang relatif besar (rata-rata 5 orang) dan setiap anggota keluarga dapat berperan dalam kegiatan stuktural, namun realitas perstukturalannya masih tetap sulit berkembang (statis) dan cenderung terkesan apatis, dan pasrah pada nasib. Solidaritas di antara mereka (baik dalam mengatasi permasalahan sosial dan stuktural) merupakan potensi besar untuk pencegahan terhadap munculnya permasalahan sosial lain yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan dalam berbagai kondisi yang serba sulit.
Pembangunan dan pemberdayaan merupakan dua konsep dengan ranah yang berbeda. Jikapun ada keterkaitan antara keduanya, maka pemberdayaan sering dipahami tidak lebih hanya sekedar dampak tidak langsung dari munculnya sejumlah masalah dalam pembangunan, khususnya kemiskinan. Kesejahteraan dalam hal ini adalah perspektif yang berupaya mempertegas faktor-faktor struktural bagi munculnya kemiskinan. Realitas kemiskinan dan kebijakan pembangunan di Indonesia memperlihatkan adanya faktor-faktor struktural tersebut. Faktor struktural tersebut memungkinkan dan telah menyebabkan marjinalisasi bagi kalangan masyarakat kelas bawah karena terciptanya suatu hambatan berupa terbatasnya kesempatan bagi yang sudah melarat untuk memperbaiki kondisi hidupnya. Tanpa perubahan, faktor-faktor struktural tersebut justru menciptakan sustainable poverty (kemiskinan yang berkelanjutan).
WASKITHO, Alumni Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Menamatkan pendidikan sarjananya tahun 2009. Sekarang sedang menempuh Program Magister Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ”APMD” Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar